Minggu, 21 Oktober 2012

Teori belajar konstruktivisme








KAJIAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME DAN DESAIN INSTRUKSIONAL




Penulis
Nama                    : Wardani
NPM                    : 1223031064
P.S                       : Magister Pendidikan IPS
Mata Kuliah        :Desain Model Pembelajaran
Dosen Pengampu : Dr. R Gunawan Sudarmanto, S.Pd., S.E., M.M.
 Dr. Herpratiwi, M.Pd.










Program Studi Magister Pendidikan IPS
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Bandarlampung
4 Oktober 2012






KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur keharibaan Allah SWT. atas segala rahmat, kasih sayang, dan kemurahan yang tiada pernah putus, hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul: “Kajian Teori Belajar Konstruktivisme dan Desain Intruksional” dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Desain Model Pembelajaran yang diampu oleh Dr. R Gunawan Sudarmanto, S.Pd., S.E., M.M. dan Dr. Herpratiwi, M.Pd.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak membutuhkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.


Bandarlampung, 4 Oktober 2012
Penulis,

Wardani










DAFTAR ISI



Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................             ii
DAFTAR ISI...............................................................................................            iii

I.   PENDAHULUAN................................................................................             1
 1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................             1
 1.2 Permasalahan....................................................................................             2
 1.3 Tujuan...............................................................................................             2

II.  TINJAUAN PUSTAKA................................................................. ....             4           
2.1  Konsep Teori Belajar Konstruktivisme............................................             4
2.2  Prinsip Dasar Teori Konstruktivisme................................................             9
2.3  Teori Belajar Konstruktivisme Jean Peaget......................................           15
2.4  Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky.........................................           17
2.5  Ciri-Ciri Teori Belajar Konstruktivisme...........................................           21
2.6  Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivisme.............           23
2.7  Desain Instruksional.........................................................................           24

III. KESIMPULAN...................................................................................           27

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................           29














I.     PENDAHULUAN


Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang masalah, tujuan, dan permasalahan. Pembahasan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut.

1.1  Latar Belakang Masalah
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta-merta. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Anisa, 2011).

Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar/ siswa. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Alhafizh, 2010). Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi dan siswa diharapkan lebih bisa menkonstruksi sendiri materi yang sudah diberikan oleh guru. Untuk menindak lanjuti permasalahan tersebut, dalam makalah ini akan dibahas secara singkat mengenai teori belajar konstruktivisme dan desain intruksional.
2
 
 

1.2  Permasalahan
Penyusunan makalah ini akan mengkaji mengenai permasalahan sebagai berikut.
a.       Bagaimanakah konsep teori belajar Konstruktivisme?
b.      Bagaimanakah prinsip dasar teori konstruktivisme?
c.       Bagaimanakah teori belajar konstruktivisme Jean Peaget?
d.      Bagaimankah teori belajar konstruktivisme Vygotsky?
e.       Bagaimanakah ciri-ciri teori belajar konstruktivisme?
f.       Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan teori belajar konstruktivisme?
g.      Bagaimanakah desain intruksional?

1.3  Tujuan
Penyusunan makalah bertujuan agar penulis mampu memahami hal-hal sebagai berikut.
a.    Konsep teori belajar konstruktivisme.
b.   
3
 
Prinsip dasar teori konstruktivisme.
c.    Teori belajar konstruktivisme Jean Peaget.
d.   Teori belajar konstruktivisme Vygotsky.
e.    Ciri-ciri teori belajar konstruktivisme.
f.     Kelebihan dan kekurangan teori belajar konstruktivisme.
g.    Desain intruksional.









































II. TINJAUAN PUSTAKA


Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan konsep teori belajar konstruktivisme, ciri-ciri teori belajar konstruktivisme, kelebihan dan kekurangan teori belajar konstruktivisme, dan desain intruksional. Pembahasan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut.

2.1    Konsep Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran kontruktivisme (constructivist theoris of learning). Teori kontruktivis ini menyetakan bahwa siswa hanya menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain seperti Bruner (Trianto, 2010: 28).

Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Trianto, 2010: 28).
5
 
 
Menurut Glasersfeld pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Peaget. Namun, apabila ditelusuri lebih jauh gagasan pokok kintrukstivisme sebenarnya sudah dimulai  oleh Giambastissta Vico seorang epistemolog dari Italia (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 54).

Hakikat pembelajaran konstruktivis adalah pembentukan pengetahuan yang memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivis adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Alhafizh, 2010).
6
 
Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari cipataan”. Terkait dengan itu, dia menjelaskan bahwa mengetahui bermakna berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsu-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa membuatnya. Sementara orang hanya dapat menegtahui segala sesuatu yang telah dikontruksinya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empiris yang menyatakan bahwa pengetahuan ini harus menunjuk pada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Sayang, Vico menurut banyak pengamat tidak membuktikan teorinya (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 54-55).

Berdasarkan identifikasi mengetahui sesuatu dengan membuat sesuatu. Vico mengatakan bahwa matematika merupakan cabang pengetahuan tertinggi. Alasanya, orang menciptakan dalam pikiran semua unsur dan segala aturan-aturan secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika. Orang sendirilah yang menciptakan matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh. Sedangkan dalam pengetahuan fisika, terlebih humaniora, manusia tidak dapat mengerti secara penuh. Tuhanlah yang menciptakan mereka. Bagi Vico, mekanika adalah kurang pasti daripada matematika. Sedangkan fisika kurang pasti dari mekanika, dan kegiatan-kegiatan manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan pengetahuan-pengetahuan manusia (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 55).
7
 
 

Kaitanya dengan pembelajaran, menurut teori kontruktivisme yang menjadi dasar bahwa siswa memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Teori ini merupakan peningkatan dari teori yang dikemukakan oleh Peager, Vigotsky, dan Bruner. Konsep pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah suatu proses pembelaaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam pandangan kontruktivisme sangat penting peran siswa untuk dapat membangun contructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berfikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56).

Teori pembelajaran kontruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Trianto, 2010: 74).

8
 
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa harus siswa sendiri yang menemukan dan mentransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila mereka menginginkan informasi itu menjadi miliknya. Konstruktivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi mereka. Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi mereka. Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus-menerus mengasilimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita ((Trianto, 2010: 74).

Karakteristik belajar dengan pendekatan konstruktivisme ada  4 (empat) sebagai berikut.
a.    Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu susunan kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa, dan tanda baca.
b.    Pembelajaran kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya.
c.   
9
 
Generative learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman mereka.
d.   Pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri (Aprianto, 2011).

2.2    Prinsip Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental peserta didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Aprudin, 2011).
Muijs dan Reynolds  mengemukakan bahwa murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi sebagai berikut.
1.    Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrusikan belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya.
2.   
10
 
Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan metakognisi.
3.    Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna.
4.    Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok.
5.    Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi.
6.   
11
 
Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
7.    Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya.
8.    Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya. Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook (Aprudin, 2011).

Sedangkan Brooks dan Brooks dalam The case for constructivist classrooms menawarkan lima prinsip kunci konstruktivisme teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme sebagai berikut.
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada kehidupan mereka.
12
 
Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk membangun kemudian sesuatu yang “menyeluruh/ utuh”.
Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan mereka.

Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adaah anggapan yang keliru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa?”, dan “bagaimana?”. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya evidesi-evidensi yang kuat sehingga dapa mengokohkan vaiditas jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik menjelaskan.
13
 
 

Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.

Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya
Prinsip 5. Nilai hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Geser/ubah peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar sedang terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kai menilai itu dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi, kadang-kadang optimis, periang, namun sesekali bisa pesimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat marahnya seorang guru dalam kerangka sedang mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah mengekspresikan kekesalan. Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada seseorang atau beberapa siswa, bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka mendidik, bukan sedang menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari seorang siswi yang cantik (Aprudin, 2011).

Di siniah perlunaya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para siswa (Aprudin, 2011).
14
 
 

Kedua prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut (Aprudin, 2011).

Berdasarkan uraian diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai berikut.
a.    Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam, memberikan arti bahwa manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasi, mengorganisasi dan menginterpretasikan pengalamnnya.
b.    Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam menginterpretasikan informasi baru dan dengan akomodasi dalam memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas.
c.    Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih dari proses mekanik yang akumulatif. Penganut konstruktivisme menganut posisi bahw abelajar harus meperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek berimajinasi dan melakukan penemuan dalam upaya mengembangkan struktur kognitif.
d.  
15
 
Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif. Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik (Aprudin, 2011).

2.3    Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya (Triantina, 2012).

Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget adalah sebagai berikut.
1.    Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi (Triantina, 2012).
2.   
16
 
Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang (Triantina, 2012).
3.     Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Triantina, 2012).

4.   
17
 
Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (Triantina, 2012).

1.3    Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Sebelum membahas lebih jauh tentang Teori Konstruktivisme Vygotsky, berikut ini saya mencoba memaparkan tentang biografi Vygotsky. Nama lengkap Vygotsky adalah Lev Semonovich Vygotsky lahir pada tahun 1896 di Tsarist Russia, di suatu kota Orscha, Belorussia dari keluarga kelas menengah Keturunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu   kota sekitar 400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia tertarik pada studi-studi kesusasteraan dan analisis sastra, dan menjadi seorang penyair dan Filosof (Aprudin, 2012).

Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan tentang Shakespeare's Hamlet yang kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai tulisannya mengenai psikologi. Dia memasuki sekolah kedokteran di Universitas Moscow dan dalam waktu yang tidak lama kemudian dia pindah ke sekolah hukum sambil mengambil studi kesusasteraan pada salah satu universitas swasta. Dia menjadi tertarik pada psikologi pada umur 28 tahun.Vygotsky mengajar kesusasteraan di suatu sekolah Propinsi sebelum memberi kuliah psikologi pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya membawakan kuliah psikologi walaupun secara formal tidak pernah mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan kajian psikologi sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of Art” di Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925 (Aprudin, 2012).
18
 
 

Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and Alexei Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal penelitian yang sekarang ini dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky mendapat tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut idelogi politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya. Setelah dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38 tahun), pada tahun 1934 akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan teorinya diterima oleh pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh mahasiswanya (Aprudin, 2012).

Kepeloporannya dalam meletakkan dasar tentang psikologi perkembangan telah banyak mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di seluruh dunia hingga saat ini. Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan, pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi. Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa (Aprudin, 2012).
19
 
 

Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang megembangkan model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem poshing. Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (Aprudin, 2012).

Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip sebagai berikut.
1.    Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
2.     Zone of Proximal Development (ZPD).
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
3.   
20
 
Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
4.    Pembelajaran Termediasi (mediated learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa (Aprudin, 2012).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.    Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
b.    Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).  Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah.  Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri (Surianto, 2009).
21
 
 

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial.  Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991).  Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan   konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi  untuk merespon masalah yang diberikan.  Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME (Surianto, 2009).

2.4  Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Adapun ciri-ciri pembelajaran secara kontruktivisme sebagai berikut.
1.    Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar.
2.    Menggalakkan soalan/ idea yang dimulai oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.   
22
 
Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid.
4.    Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide
5.    Menggalakkan, menerima daya usaha dan autonomi murid.
6.    Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru
7.    Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.    Menggalakkan proses inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen (Surianto, 2009).
2.5  Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar sebagai berikut.
1.    Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.    Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3.    Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.    Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.    Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6.    Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7.    Mmencari dan menilai pendapat siswa.
8.    Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa (Surianto, 2009).
23
 
Berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme, hanya ada satu prinsip yang paling penting ialah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan (Surianto, 2009).
2.6  Kekurangan dan Kelebihan Konstruktivisme
Secara garis besar, kekurangan dan kelebihan konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar sebagai berikut.
a.    Kelebihan konstruktivisme
1.    Berfikir; proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2.    Faham; oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3.    Ingat; oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Melalui pendekatan ini siswa membina sendiri kefahaman mereka.
4.   
24s
 
Kemahiran sosial; diperolehi apabila berinteraksi dengan teman sebaya dan guru dalam membina pengetahuan baru (Surianto, 2009).
b.    Kelemahan konstruksivisme
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung (Surianto, 2009).
2.7  Desain Instruksional
Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa teori di atas, penulis mengikuti teori Vygotsky dalam pembelajaran. Sehingga dapat dirancang/ didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut.
a.    Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview.
b.    Penyusunan program pembelajaran.
Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
c.    Orientasi dan elicitasi
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
d.  
25
 
 Refleksi
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifatmiskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
e.    Resrtukturisasi ide dijelaskan sebagai berikut.
1.    Tantangan; siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
2.     Konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator.
3.   
26
 
Membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu.
4.    Memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
f.     Aplikasi; menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
g.    Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.








III. KESIMPULAN
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan kesimpulan teori belajar teori belajar konstruktivisme. Kesimpulan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian teori belajar konstruktivisme yang berpengaruh antara lain Jean Peaget dan Vygotsky. Kedua tokoh tersebut mempunyai perbedaan mengenai konstruktivisme. Jean Peaget berpandangan bahwa tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Hal tersebut meliputi: (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

28
 
Sedangkan Vygotsky berpendapat bahwa proses mental akan terjadi jika terjadi interaksi antar individu. Oleh karena itu, menurutnya apa yang dilakukan oleh seorang pembelajar dengan bantuan guru sesungguhnya merupakan indikasi adanya perkembangan intelektual, dan bukan sekedar indikasi bahwa pembelajar tersebut dapat melakukan sendiri apa-apa yang diajarkan oleh gurunya. Bertolak dari pemahaman tersebut, peran guru seharunya adalah membimbing pembelajar untuk menumbuhkan perspektif sosial bagi perkembangan psikologinya.

Asumsi-asumsi yang difahami oleh konstruktivisme dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.    Pengetahuan disusun dari pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Konsep ini mengadopsi prinsip kognitivisme.
b.    Proses belajar adalah interpretasi personal seseorang terhadap dunia yang dihadapinya.
c.    Belajar adalah proses aktif, dan pengalaman sangat mempengaruhi berarti atau tidaknya sebuah informasi.
d.   Konsep yang dimiliki seseorang akan berkembang seiring dengan negosiasi makna dan berbagi pandangan dari berbagai perspektif. Perubahan representasi internal terjadi melalui kegiatan belajar kelompok.
e.    Balajar harus disesuaikan dengan situasi yang nyata, yang akan dihadapi oleh pembelajar kelak.








DAFTAR PUSTAKA

Alhafizh. 2010. Teori Belajar Konstruktivis. Downloaded at 02/10/2012 from http://alhafizh84.wordpress.com/2010/10/24/teori-belajar-konstruktivis/

Anisa. Akmala. 2011. Teori Belajar Konstruktivisme. Downloaded at 02/10/2012 from http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-konstruktivisme/
Aprudin. 2011. Prinsip Dasar dan Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme. Downloaded at 02/10/2012 from  http://007indien.blogspot.com/2011/12/prinsip-dasar-dan-karakteristik.html
             . 2012. Teori Konstruktivisme Vygotsky dan Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik Vygotsky. Downloaded at 02/10/2012 from http://007indien.blogspot.com/2012/03/teori-konstruktivisme-vygotsky-dan.html

Sudrajat, Ahmad. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Downloaded at 02/10/2012 from http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/

Sukarjo dan Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Surianto. 2009. Teori Pembelajaran Konstruktivisme. Downloaded at 02/10/2012 from http://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

            . 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT. Bumi Aksara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar