KAJIAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME DAN DESAIN
INSTRUKSIONAL
Penulis
Nama : Wardani
NPM : 1223031064
NPM : 1223031064
P.S : Magister Pendidikan IPS
Mata Kuliah :Desain Model Pembelajaran
Dosen Pengampu : Dr. R Gunawan Sudarmanto, S.Pd., S.E., M.M.
Dr. Herpratiwi, M.Pd.

Program Studi Magister Pendidikan IPS
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Bandarlampung
4 Oktober 2012
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur keharibaan Allah
SWT. atas segala rahmat, kasih sayang, dan kemurahan yang tiada pernah putus,
hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul: “Kajian Teori Belajar Konstruktivisme
dan Desain Intruksional” dengan segala kekurangan dan
kelebihannya.
Makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Desain Model
Pembelajaran yang diampu oleh Dr. R Gunawan Sudarmanto, S.Pd., S.E., M.M. dan
Dr. Herpratiwi, M.Pd.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
membutuhkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bandarlampung, 4 Oktober 2012
Penulis,
Wardani
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah................................................................... 1
1.2
Permasalahan.................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. .... 4
2.1 Konsep Teori Belajar Konstruktivisme............................................ 4
2.2 Prinsip Dasar Teori Konstruktivisme................................................ 9
2.3 Teori Belajar Konstruktivisme Jean Peaget...................................... 15
2.4 Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky......................................... 17
2.5 Ciri-Ciri Teori Belajar Konstruktivisme........................................... 21
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar
Konstruktivisme............. 23
2.7 Desain Instruksional......................................................................... 24
III. KESIMPULAN................................................................................... 27
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................... 29
I.
PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar
belakang masalah, tujuan, dan permasalahan. Pembahasan secara rinci
dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.1
Latar Belakang Masalah
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks
filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan
hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir
(filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak serta-merta. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata
(Anisa, 2011).
Belajar lebih diarahkan pada experimental
learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman
konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian
dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya
aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan
pada pembelajar/ siswa. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran
konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata
dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran
dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya
mengkonstruksi pengalaman (Alhafizh, 2010). Dalam teori belajar ini guru tidak
banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik
dilakukan sendiri maupun melalui simulasi dan siswa diharapkan lebih bisa
menkonstruksi sendiri materi yang sudah diberikan oleh guru. Untuk menindak
lanjuti permasalahan tersebut, dalam makalah ini akan dibahas secara singkat
mengenai teori belajar konstruktivisme dan desain intruksional.
|
1.2
Permasalahan
Penyusunan makalah ini akan mengkaji mengenai permasalahan sebagai
berikut.
a. Bagaimanakah konsep teori
belajar Konstruktivisme?
b. Bagaimanakah prinsip dasar
teori konstruktivisme?
c. Bagaimanakah teori belajar
konstruktivisme Jean Peaget?
d. Bagaimankah teori belajar
konstruktivisme Vygotsky?
e. Bagaimanakah ciri-ciri teori
belajar konstruktivisme?
f. Bagaimanakah kelebihan dan
kekurangan teori belajar konstruktivisme?
g. Bagaimanakah desain
intruksional?
1.3
Tujuan
Penyusunan makalah bertujuan agar penulis mampu memahami hal-hal sebagai
berikut.
a. Konsep teori belajar konstruktivisme.
b.
Prinsip dasar teori konstruktivisme.
|
c. Teori belajar
konstruktivisme Jean Peaget.
d. Teori belajar
konstruktivisme Vygotsky.
e. Ciri-ciri teori belajar
konstruktivisme.
f. Kelebihan dan kekurangan
teori belajar konstruktivisme.
g. Desain intruksional.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan konsep teori
belajar konstruktivisme, ciri-ciri teori belajar konstruktivisme, kelebihan dan
kekurangan teori belajar konstruktivisme, dan desain intruksional.
Pembahasan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut.
2.1 Konsep Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan
dikelompok dalam teori pembelajaran kontruktivisme (constructivist theoris of learning). Teori kontruktivis ini
menyetakan bahwa siswa hanya menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya
apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan
masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah
dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori
pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain seperti Bruner (Trianto,
2010: 28).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang
paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses
ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide
mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga
yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri
yang harus memanjat anak tangga tersebut (Trianto, 2010: 28).
|
Menurut Glasersfeld pengertian konstruktif kognitif
muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam
dan disebarkan oleh Jean Peaget. Namun, apabila ditelusuri lebih jauh gagasan
pokok kintrukstivisme sebenarnya sudah dimulai
oleh Giambastissta Vico seorang epistemolog dari Italia (Sukarjo dan
Komarudin, 2009: 54).
Hakikat pembelajaran konstruktivis adalah pembentukan pengetahuan yang
memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam
interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek
menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek
itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Yang
terpenting dalam teori konstruktivis adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si
belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa
secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Alhafizh,
2010).
|
Berdasarkan identifikasi mengetahui sesuatu dengan
membuat sesuatu. Vico mengatakan bahwa matematika merupakan cabang pengetahuan
tertinggi. Alasanya, orang menciptakan dalam pikiran semua unsur dan segala
aturan-aturan secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika. Orang
sendirilah yang menciptakan matematika, sehingga orang dapat mengerti secara
penuh. Sedangkan dalam pengetahuan fisika, terlebih humaniora, manusia tidak
dapat mengerti secara penuh. Tuhanlah yang menciptakan mereka. Bagi Vico,
mekanika adalah kurang pasti daripada matematika. Sedangkan fisika kurang pasti
dari mekanika, dan kegiatan-kegiatan manusiawi kurang pasti daripada fisika.
Dengan cara ini Vico membedakan pengetahuan-pengetahuan manusia (Sukarjo dan
Komarudin, 2009: 55).
|
Kaitanya dengan pembelajaran, menurut teori
kontruktivisme yang menjadi dasar bahwa siswa memperoleh pengetahuan adalah
karena keaktifan siswa itu sendiri. Teori ini merupakan peningkatan dari teori
yang dikemukakan oleh Peager, Vigotsky, dan Bruner. Konsep pembelajaran menurut
teori kontruktivisme adalah suatu proses pembelaaran yang mengkondisikan siswa
untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan
pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus
dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa
mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi,
dalam pandangan kontruktivisme sangat penting peran siswa untuk dapat membangun
contructive habits of mind. Agar
siswa memiliki kebiasaan berfikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar
(Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56).
Teori pembelajaran kontruktivisme merupakan teori
pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan
bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila
aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan
dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah,
menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide
(Trianto, 2010: 74).
|
Karakteristik
belajar dengan pendekatan konstruktivisme ada 4 (empat) sebagai berikut.
a.
Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa mulai
dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya
memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar
yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu susunan
kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa, dan tanda
baca.
b.
Pembelajaran kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling
mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya.
c.
Generative learning (pembelajaran generatif)
yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila kita menyampaikan sesuatu kepada
siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan informasi itu untuk membuat
informasi masuk kedalam pemahaman mereka.
|
d.
Pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong
untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman dan melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri (Aprianto, 2011).
2.2 Prinsip Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
Belajar
merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental
peserta didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan
menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki
seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua pelajar benar-benar
mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang
datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan
mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Aprudin,
2011).
Muijs dan Reynolds mengemukakan bahwa murid
adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi sebagai
berikut.
1.
Belajar
selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrusikan
belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa
belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. belajar adalah
tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan
tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid
dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami
konsepnya.
2.
Anak-anak
belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik
dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan
metakognisi.
|
3.
Bagi
konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha
mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi
berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan
murid untuk mengkonstruksi makna.
4.
Konstruksi
pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga
dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru,
orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah
mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja dan
diskusi kelompok.
5.
Elemen lain
yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif
mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan
yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat
menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi.
6.
Di samping
itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta
secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita
ketahui.
|
7.
Belajar
secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara
menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita
pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya
dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan
hanya bagian-bagiannya.
8.
Mengajar
adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk
menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis.
Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih
dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri
pendekatan-pendekatan mengajar lainnya. Ini juga membuat kaum konstruktivis
percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook (Aprudin, 2011).
Sedangkan Brooks
dan Brooks dalam The case for constructivist classrooms menawarkan lima
prinsip kunci konstruktivisme teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka
untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan
pelajaran. Menurutnya terdapat lima
panduan prinsip konstruktivisme sebagai berikut.
Prinsip
1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera
untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada
kehidupan mereka.
|
Mendorong para
siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam
bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu
untuk membangun kemudian sesuatu yang “menyeluruh/ utuh”.
Prinsip 3:
Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan
mereka.
Tantangan
gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam
banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang
secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru
maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar
topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul
"masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai
konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun
jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan
untuk mengelaborasi merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda
terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal
yang penting. Hal ini adaah anggapan yang keliru, karena itu jika siswa memulai
dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan
seperti; “mengapa?”, dan “bagaimana?”. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah
kepada adanya evidesi-evidensi yang kuat sehingga dapa mengokohkan vaiditas
jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan
menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga
untuk waktu praktik menjelaskan.
|
Dengan demikian
kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya dituntut dalam
pengembangan fluency-nya saja
melainkan terhindar dari situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4.
Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan
topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik
untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya
Prinsip 5. Nilai hasil belajar siswa dalam
konteks pembelajaran.
Geser/ubah peniaian itu harus benar-benar sedang
menilai apa yang benar-benar sedang terjadi saat penilaian itu. Berlangsung,
dan jangan sekali-kai menilai itu dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang
dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi, kadang-kadang optimis,
periang, namun sesekali bisa pesimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat
marahnya seorang guru dalam kerangka sedang mendidik, dalam konteks
pembelajaran, bukan marah mengekspresikan kekesalan. Begitu juga ketika Anda
memberikan bantuan pada seseorang atau beberapa siswa, bantuan Anda lakukan
benar-benar dalam kerangka mendidik, bukan sedang menyintai seseorang, atau
agar mendapat simpatik dari seorang siswi yang cantik (Aprudin, 2011).
Di siniah perlunaya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai
apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden
penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh
arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi
oleh para siswa (Aprudin, 2011).
|
Kedua
prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih
spesifik mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila
belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena
itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut (Aprudin, 2011).
Berdasarkan
uraian diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar konstruktivisme dalam
pembelajaran sebagai berikut.
a.
Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam,
memberikan arti bahwa manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang dunia
melalui suatu kerangka logis yang mentransformasi, mengorganisasi dan
menginterpretasikan pengalamnnya.
b.
Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses
asimilasi dan akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka
logis dalam menginterpretasikan informasi baru dan dengan akomodasi dalam
memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri
yang lebih luas.
c.
Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih
dari proses mekanik yang akumulatif. Penganut konstruktivisme menganut posisi
bahw abelajar harus meperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi,
memanipulasi objek berimajinasi dan melakukan penemuan dalam upaya
mengembangkan struktur kognitif.
d.
Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya
perkembangan struktur kognitif. Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses
refleksi dan resolusi konflik (Aprudin,
2011).
|
2.3 Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan
teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam
pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau
moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih
mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi
dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya (Triantina, 2012).
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget adalah sebagai berikut.
1.
Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut
dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian
dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya,
anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih.
Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing
berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah
dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan
binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang
dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi
(Triantina, 2012).
2.
Asimilasi
|
Asimilasi adalah proses
kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman
baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi
dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini
berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang (Triantina, 2012).
3.
Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau
pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru
dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama
sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang
akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga
cocok dengan rangsangan itu (Triantina, 2012).
4.
Keseimbangan
|
Ekuilibrasi adalah keseimbangan
antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana
tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat
membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya
(Triantina, 2012).
1.3 Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Sebelum membahas lebih jauh tentang Teori
Konstruktivisme Vygotsky, berikut ini saya mencoba memaparkan tentang
biografi Vygotsky. Nama lengkap Vygotsky adalah Lev Semonovich Vygotsky lahir
pada tahun 1896 di Tsarist Russia, di suatu kota Orscha, Belorussia dari
keluarga kelas menengah Keturunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu
kota sekitar 400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia
tertarik pada studi-studi kesusasteraan dan analisis sastra, dan menjadi
seorang penyair dan Filosof (Aprudin, 2012).
Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan
tentang Shakespeare's Hamlet yang kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai
tulisannya mengenai psikologi. Dia memasuki sekolah kedokteran di Universitas
Moscow dan dalam waktu yang tidak lama kemudian dia pindah ke sekolah hukum
sambil mengambil studi kesusasteraan pada salah satu universitas swasta. Dia
menjadi tertarik pada psikologi pada umur 28 tahun.Vygotsky mengajar
kesusasteraan di suatu sekolah Propinsi sebelum memberi kuliah psikologi pada
suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya membawakan kuliah psikologi walaupun
secara formal tidak pernah mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin
tertarik dengan kajian psikologi sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of Art” di Moscow Institute of Psychology pada
tahun 1925 (Aprudin, 2012).
|
Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria
and Alexei Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal penelitian yang
sekarang ini dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky
mendapat tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut
idelogi politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya. Setelah
dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38 tahun), pada tahun
1934 akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan
teorinya diterima oleh pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh
mahasiswanya (Aprudin, 2012).
Kepeloporannya dalam meletakkan dasar tentang
psikologi perkembangan telah banyak mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia
yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di seluruh dunia hingga saat
ini. Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran.
Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk
pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari
lingkungan, pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial,
antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi.
Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan
lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau,
bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang
lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif
seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara
evisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain
dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau
orang dewasa (Aprudin, 2012).
|
Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini,
banyak pemerhati pendidikan yang megembangkan model pembelajaran kooperatif,
model pembelajaran peer interaction,
model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem poshing. Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky
menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih
tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological)
melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai
transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu
bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (Aprudin,
2012).
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan
empat prinsip sebagai berikut.
1.
Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran
kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama
dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
2.
Zone
of Proximal Development (ZPD).
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada
dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah
sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang
dewasa atau temannya (peer). Bantuan
atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau
soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan
kognitif si anak.
3.
Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).
|
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh
kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang
dewasa, atau teman yang lebih pandai.
4.
Pembelajaran Termediasi (mediated learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks,
sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan
masalah siswa (Aprudin, 2012).
Ada dua konsep penting dalam
teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a. Zone
of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan
teman sejawat yang lebih mampu.
b. Scaffolding
merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya
(Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan
kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat
berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam
langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang
memungkinkan siswa itu belajar mandiri (Surianto, 2009).
|
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat
konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat
konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan
mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan
masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam
pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya
dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa
berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman
informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah
yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai
dengan karakteristik RME (Surianto, 2009).
2.4 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Adapun
ciri-ciri pembelajaran secara kontruktivisme sebagai berikut.
1.
Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru
melalui penglibatan dalam dunia sebenar.
2.
Menggalakkan soalan/ idea yang dimulai oleh murid dan menggunakannya
sebagai panduan merancang pengajaran.
3.
Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira
sikap dan pembawaan murid.
|
4. Mengambilkira
dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide
5. Menggalakkan,
menerima daya usaha dan autonomi murid.
6. Menggalakkan
murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru
7.
Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama
penting dengan hasil pembelajaran.
8.
Menggalakkan proses inkuiri murid mel alui kajian dan
eksperimen (Surianto, 2009).
2.5 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme
yang diterapkan dalam belajar mengajar sebagai berikut.
1. Pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri.
2. Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid
sendiri untuk menalar.
3. Murid
aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah.
4. Guru
sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar.
5. Menghadapi
masalah yang relevan dengan siswa.
6. Struktur
pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7.
Mmencari dan menilai pendapat siswa.
8.
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa
(Surianto, 2009).
|
2.6 Kekurangan dan Kelebihan Konstruktivisme
Secara garis besar, kekurangan dan
kelebihan konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar sebagai
berikut.
a.
Kelebihan konstruktivisme
1. Berfikir;
proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah,
menjana idea dan membuat keputusan.
2. Faham;
oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru,
mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3. Ingat;
oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat
lebih lama semua konsep. Melalui pendekatan ini siswa membina sendiri kefahaman
mereka.
4.
Kemahiran sosial; diperolehi apabila berinteraksi
dengan teman sebaya dan guru dalam membina pengetahuan baru (Surianto, 2009).
|
b.
Kelemahan konstruksivisme
Dalam bahasan
kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya
dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung
(Surianto, 2009).
2.7 Desain Instruksional
Berdasarkan
penjelasan mengenai beberapa teori di atas, penulis mengikuti teori Vygotsky
dalam pembelajaran. Sehingga dapat dirancang/ didesain dalam model pembelajaran
konstruktivis di kelas sebagai berikut.
a.
Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap
lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya
miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini
dilakukan dengan tes awal, interview.
b.
Penyusunan program pembelajaran.
Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
c.
Orientasi dan elicitasi
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu
diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka
terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan
gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka
amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut
dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran
dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan
ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak
menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan
sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
d.
Refleksi
|
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifatmiskonsepsi
yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi
yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan
tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan
merestrukturisasikannya.
e.
Resrtukturisasi ide dijelaskan sebagai berikut.
1.
Tantangan; siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan
tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam
praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan
alasan untuk mendukung ramalannya itu.
2.
Konflik kognitif dan diskusi kelas.
Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka
didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan
mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas
dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan
paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah
mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya
sebagai fasilitator dan mediator.
3.
Membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun
untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi
internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu.
|
4.
Memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
f.
Aplikasi; menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih
konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk
menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk
memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara
empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka
dengan penjelasa secara keilmuan.
g.
Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi
pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang
muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan
bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting
dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi
struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan
rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
III.
KESIMPULAN
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan
kesimpulan teori belajar teori belajar konstruktivisme. Kesimpulan secara rinci
dapat dikemukakan sebagai berikut.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian teori
belajar konstruktivisme yang berpengaruh antara lain Jean Peaget dan Vygotsky.
Kedua tokoh tersebut mempunyai perbedaan mengenai konstruktivisme. Jean Peaget
berpandangan bahwa tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan
kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Hal tersebut
meliputi: (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun
yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan
mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap
tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap
tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
|
Asumsi-asumsi yang difahami
oleh konstruktivisme dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Pengetahuan disusun dari
pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Konsep ini mengadopsi prinsip
kognitivisme.
b. Proses belajar adalah
interpretasi personal seseorang terhadap dunia yang dihadapinya.
c. Belajar adalah proses aktif,
dan pengalaman sangat mempengaruhi berarti atau tidaknya sebuah informasi.
d. Konsep yang dimiliki
seseorang akan berkembang seiring dengan negosiasi makna dan berbagi pandangan
dari berbagai perspektif. Perubahan representasi internal terjadi melalui
kegiatan belajar kelompok.
e. Balajar harus disesuaikan
dengan situasi yang nyata, yang akan dihadapi oleh pembelajar kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
Alhafizh. 2010. Teori Belajar Konstruktivis. Downloaded at 02/10/2012 from http://alhafizh84.wordpress.com/2010/10/24/teori-belajar-konstruktivis/
Anisa. Akmala.
2011. Teori Belajar Konstruktivisme. Downloaded at 02/10/2012
from http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-konstruktivisme/
Aprudin. 2011. Prinsip Dasar dan Karakteristik Pembelajaran
Konstruktivisme.
Downloaded at 02/10/2012 from http://007indien.blogspot.com/2011/12/prinsip-dasar-dan-karakteristik.html

Sudrajat, Ahmad. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Downloaded at 02/10/2012 from http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/
Sukarjo dan Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Surianto. 2009. Teori Pembelajaran Konstruktivisme. Downloaded at 02/10/2012 from http://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar