Jumat, 01 Februari 2013

Teori Belajar Humanisme


Wardani, S.Pd

Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan konsep teori belajar humanisme, tokoh-tokoh teori belajar humanisme, kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme, pendekatan belajar humanisme, aplikasi teori belajar humanisme, dan model pembelajaran humanisme. Pembahasan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut.

2.1 Konsep Teori Belajar Humanisme
Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusikan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 56).

Senada dengan pendapat di atas, belajar adalah pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing didepan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri (Herpratiwi, 2009: 39).

Awal timbulnya psikologi humanistis terjadi pada akhir tahun 1940-an yaitu munculnya suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam pengembangan ini. Misalnya; ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial, konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenalkan dengan psikologi humanistis, eksternal, perseptual atau  fenomenologikal. Psikologi ini berusaha memahami perilaku seseorang dari sudut perilaku (behavior), bukan dari pengamat observer. Dalam dunia pendidikan aliran humanisme muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini (Herpratiwi, 2009: 37).

Perhatian psikologi humanistik terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Gerakan munculnya psikologi humanistik disebabkan oleh semacam kesadaran bersama beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori psikologi yang berkemampuan menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan yang sewajarnya mengfungsikan manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada dasarnya mempunyai kapasitas serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya (Herpratiwi, 2009: 37).

Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme berfokus pada sikap dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan bertanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar pencarian. Maka yang unik didalam dunia yang tidak bermakna, berada sendirian dan berada dalam hubungan dengan orang lain keterhinggaan, kematian, dan kecenderungan mengaktualisasikan diri. Perkembangan pribadi yang muncul berdasarkan keunikan masing-masing individu. Teori ini berfokus pada saat sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan. Pendekatan ini menyajikan kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan perkembangan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri dan bertanggung jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38).
Senada dengan pendapat di atas, konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 57).

Keleluasaan untuk memilih apa yang akan dipelajari dan kapan serta bagaimana mereka akan mempelajarinya merupakan ciri utama pendekatan humanisme. Bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated leaner. Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak hal apabila mereka  memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan dan mereka hindari pemberian nilai dan tes standar atau evaluasi formal lainnya. Pengertian humanisme yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Kata humanisme dalam pendidikan, dalam artikel “what is humanistic education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanisme (Herpratiwi, 2009: 38).


Beberapa ciri khas yang dominan dalam psikologi humanisme sebagai berikut.
a.    Mereka menekankan bahwa psikologi seharusnya memperlakukan “keseluruhan kepribadian manusia” meliputi seluruh aspek-aspeknya.
b.    Mereka menekankan kepada aktivitas dari sudut pandang personnya dari sudut pandang “peninjau” (observer). Pengikut psikologi humanisme menyatakan bahwa dalam melihat manusia sebagian besar ahli-ahli psikologi mengambil sudut pandang orang ketiga, sedangkan cara yang paling nyata untuk mempelajari psikologi ialah melalui “mata person” yaitu dirinya sendiri.
c.    Mereka juga menekankan kepada “self-actualization”, “self-fulfillment” atau “self-realization”.
d.   Mengenai perkembangan pribadi seseorang dalam arah apapun, orang tersebut selalu memilih atau menilai (Herpratiwi, 2009: 40).

Nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan dalam pendidikan humanisme sebagai berikut.
1.    Kejujuran (tidak menyontek, tidak merusak, dan bisa dipercaya).
2.    Menghargai hak orang lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang lain, menolong orang lain, dan bisa berempati terhadap problem orang lain).
3.    Menjaga lingkungan (menghemat penggunaan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dll. Menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang lain).
4.    Perilaku (mau berbagi, menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, dan berlaku pantas didepan publik).
5.    Perkembangan pribadi (menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik, mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan rasa bangga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani, terhormat dan patriotik, serta menghargai keindahan) (Herpratiwi, 2009: 41).

Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus kepada “ketidak normalan” atau “sakit” seperti dilihat oleh teori psikoanalisa freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pembelajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini (Herpratiwi, 2009: 42).

Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam dominan efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidiknya yang beraliran humanisme juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanisme mencoba untuk melihat dalam spektrum yang lebih luas mengenai perilaku manusia. (Herpratiwi, 2009: 42).

Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanisme, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu dalam perkembangan, sementara humanisme melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang nampak dari para  pendidik beraliran humanisme. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini sama seperti yang ingin kita dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan kognitif (Herpratiwi, 2009: 42-43).

2.2 Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain: Arthur W. Comb, Abraham Maslow, dan Carl Ranson Rogerss. Teori belajar humanistik berdasarkan pendapat tokoh-tokohnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.    Athur W. Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya Konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif (Herpratiwi, 2009: 45).

Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut. Sehingga, apabila ingin mengubah perilaku siswa tersebut guru harus mengubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang diharapkan siswa tidaklah menyatu pada materi pelajaran tersebut. Dalam hal ini yang penting ialah bagaimana membawa persepsi siswa untuk memperoleh makna belajar bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupannya sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).

Arthur W. Comb ialah seorang humanis, ia berpendapat bahwa perilaku batiniah seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berfikir tentang dirinya. Pendidikan dapat memahami perilaku peserta didiknya jika ia mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatanya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam pembelajaran menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik. Karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil (Herpratiwi, 2009: 45).

Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang tertitik pusat satu. Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkaran besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri, makin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan oleh siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).

Combs dan kawan-kawan menyatakan bahwa apabila kita ingin memahami perilaku orang lain kita harus memahami dunia persepsi orang itu. Apabila kita ingin mengubah keyakinan atau pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dari yang lain. Selanjutnya bahwa perilaku buruk itu sungguh tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Apabila seseorang guru mengeluh apabila siswanya tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu. Apabila guru itu memberikan aktivitas yang lain, mungkin sesekali siswa akan memberikan reaksi yang positif. Para ahli humanisme melihat adanya bagian dari learning, ialah pemerolehan informasi baru dan personalisasi informasi ini pada individu. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajarn itu, sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkan dengan kehidupannya (Herpratiwi, 2009: 46). 
2.    Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang dan (2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dala upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat pelbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi disisi lain, seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting dan harus diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).

Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow sebagai berikut.
a.    Kebutuhan fisiologis/ dasar.
b.    Kebutuhan akan rasa  aman dan tentram.
c.    Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi.
d.   Kebutuhan untuk dihargai.
e.    Kebutuhan untuk aktualisasi diri (Herpratiwi, 2009: 49).

Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist”, Maslow mencoba untuk mengkritik Freud dan Behavioristik. Menurut Maslow, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimiliknya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisis Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah sakit tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Para pendidika yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan pengajaranya pada pembangunan kemampuan positif (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).

Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga hubungan yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya ialah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).

Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi, dapat dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang tampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita peroleh dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).

Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia atau dengan Freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi yang dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan motivasi Maslow menggambarkan motivasi manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motivasi dalam tingkat yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).
3.    Carl Ransom Rogerss (1902-1987)
Carl Ramson Rogerss lahir di Oak Park, Llinois pada tanggal 8 Januari 1902 di sebuah keluarga protestan yang fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah pertanian di usianya ke-12, membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar pertanian di Universitas Wisconsin. Setelah lulus tahun 1924, ia masuk ke Union Theologi Seminary di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di sebuah gereja kecil. Meskipun belajar seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher Collage yang bertetangga dengan seminarinya (Herpratiwi, 2009: 48).

Tahun 1927, Rogerss bekerja di Institute For Child Guindance dan menggunakan psikonalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori Freud. Pada masa ini, Rogerss juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan Jhon Dewey yang memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkan justru membuatnya menemukan benang merah yang kemudian dikembangkan dan dipakai untuk mengembangkan teorinya kelak (Herpratiwi, 2009: 49).

Pada tahun 1931, Rogerss bekerja di Child Study Departement of The Society For The Prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan kekerasan terhadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/ nakal dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul The Clincai Treatment Of The Problem Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University dan pada tahun 1942. Rogerss menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society (Herpratiwi, 2009: 49).

Tahun 1957, Rogerss pindah ke Universitas Wisconsin untuk mengembangkan idenya tentang psikitari. Setelah mendapat gelar doktor, Rogerss menjadi profesor psikologi di Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan akademik membuat Rogerss mengembangkan metode client-contered psycotherapy. Disini dia lebih senang menggunakan istilah siswa terhadap orang yang berkonsultasi dibandingkan memakai istilah pasien (Herpratiwi, 2009: 49).

Rogerss ialah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapisit) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogerss meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogerss, teknik-teknik assesment dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien (Herpratiwi, 2009: 49).

Kecewa karena tidak bisa menyatukan psikiatri dengan psikolog. Rogerss pindah ke California pada tahun 1964 dan bergabung dengan western behavioral science institute. Ia lalu mengembangkan teorinya dibidang pendidikan. Selain itu ia banyak memberikan workshop di Hongaria, Brazil, Afrika Selatan, dan bahkan Uni Soviet. Rogerss wafat pada tanggal 4 Februari 1987. Meskipun teori yang dikemukakan oleh Rogerss ialah salah satu teori humanistik, namun keunikan teori pada sifat humanis yang terkandung di dalamnya (Herpratiwi, 2009: 50).

Rogerss membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental (pengalaman atau signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiental learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup; keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif,  evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogerss, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, sebagai berikut.
a.    Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b.    Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
c.    Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d.   Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern belajar tentang proses (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61).






Asumsi teori Rogerss sebagai berikut.
1.    Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
2.    Kecenderungan aktualisasi
Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju kesempurnaan atau pemenuhan potensi dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya (Herpratiwi, 2009: 50).

Menurut teori di atas, tujuan belajar ialah untuk memanusiakan manusia. Prose belajar dianggap berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan sudut pandang pengamatnya (Herpratiwi, 2009: 50).

Dari bukunya freedom to learn, ia menunjukan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya sebagai berikut.
1.        Mannusia mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2.        Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
3.        Belajar yang menyangkur perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4.        Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabika ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5.        Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6.        Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7.        Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam prose belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
8.        Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9.        Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah divapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri. Penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10.    Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61-62).

Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada pproses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui sebagai berikut.
a.    Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
b.    Mengusahakan partisipasi siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
c.    Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d.   Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e.    Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari pelaku yang ditunjukan.
f.     Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko  perbuatan atau proses belajarnya.
g.    Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
h.    Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa (Herpratiwi, 2009: 52).

Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogerss, diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975. Model ini mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif sebagai berikut.
1.    Merespons perasaan siswa.
2.     Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.
3.    Berdialog dan berdiskusi dengan siswa.
4.    Menghargai siswa.
5.    Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
6.    Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa).
7.    Tersenyum pada siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 62-63).

Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa guru yang fasilitatif mampu mengurangi angka membolos, meningkatkan angka konsep diri, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat masalah yang berkaitan dengan disiplin, mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta menjadikan siswa lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).

Teori Rogerss dalam bidang-bidang pendidikan dibutuhkan 3 (tiga) sikap oleh fasilitator belajar, yaitu: (1) realitas di dalam fasilitator belajar, (2) penghargaan, penerimaan dan kepercayaan, dan (3) pengertian empati. Dari ketiga sikap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.    Realitas di dalam fasilitator belajar
Merupakan sikap dasar yang penting. Seorang fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri. Sehingga ia dapat masuk ke dalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi.


2.    Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan
Menghargai pendapat, perasaan, dan sebagainya membuat timbulnya penerimaan akan satu dengan lainnya. Dengan adanya penerimaan tersebutm maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan yang lainnya.
3.    Pengertian yang empati
Untuk mempertahankan iklim belajar atas dasar inisiatif diri, maka guru harus memiliki pengertian yang empati akan reaksi murid dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang senditif bagi jalanya proses pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi. Pengertian akan materi pendidikan dipandang dari sudut murid bukan guru (Herpratiwi, 2009: 53).

Kesimpulan Teori Humanisme Carl Rogerss ialah sebagai berikut.
1.    Teori Rogerss disebut humanis karena teori ini dipercaya bahwa setiap individu adalah positif, serta menolak teori Freud dan behaviorisme.
2.    Asumsi dasar teori Rogerss ialah kecenderungan formatif dan kecenderungan aktualisasi.
3.    Diri (self) terbentuk dari pengalaman mulai dari bayi, dimana penghargaan positif (positive regard) dan penghargaan diri yang positif (positive self regard).
4.    Stagnasi psikis terjadi bila pengalaman dan konsep diri yang tidak konsisten, untuk menghindarinya adalah pertahanan distorasi dan penyangkalan. Jika gagal dalam menerapkan pertahanan tersebut konsep diri akan hancur dan menyebabkan psikotik.
5.    Dalam terapi, terapi hanya menolong dan mengarahkan siswa yang melakukan perubahan adalah siswa itu sendiri (Herpratiwi, 2009: 52).

2.3  Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme
Di bawah ini akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan teori belajar humanistik, sebagai berikut.
a.    Kelebihan teori belajar humanisme
Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Herpratiwi, 2009: 56).
b.    Kelemahan teori belajar humanisme
Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang kurnag aktif, dia akan takut atau malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran, padahal dlaam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).

2.4  Pendekatan Pembelajaran Humanisme
Pendekatan pembelajaran humanisme memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain.  Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanisme ialah pendekatan reflektif, dialogis, dan ekspresif. Pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berfikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog, pendekatan dialogis menagajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktualisasi diri). Dengan demikian, pendidik tidak mengambil alih tanggung jawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri. Penentuan sikap dan pemilihan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya (Herpratiwi, 2009: 57).

Pendidikan yang humanistik menekan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama ialah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antar pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunikasi sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cinta kasih atas mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta, hati yang penuh pengertian serta relasi pribadi yang efektif. Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur. Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan dirnya secara optimal (Herpratiwi, 2009: 57).

Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang menghadirkan diri sedemikian rupa sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan siswa dan mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif ialah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikanya ialah peserta didik menemukan, mengembangkan, dan mencoba mempraktikan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa ialah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif. Peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian memfungsikan dirinya di dalam masyarakat secara optimal (Herpratiwi, 2009: 58).

Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya ialah pertumbuhan dan perkembangan diri siswa secara utuh sehingga meraka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik alam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan humanistik serta mengembangkan cara aktif-positif dan keterampilan memadai. Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan dibidang intelektual, emosi/ perasaan, afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada hakikatnya ialah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi lebih bermanusiawi, berguna dan berpengaruh di dalam masyarakat, bertanggung jawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun humanis (Herpratiwi, 2009: 58).

2.5  Aplikasi Teori Belajar Humanisme
Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dalam pendidikan. Dalam artikel “What is The Humanistic Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik ialah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 64).

Pandangan kalangan humanis tentang proses belajar mengaplikasikan perlunya penataan peran guru/ tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/ tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai proses pembelajaran tetapi yang terpenting ialah  memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran sidentitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).

Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir pasif akan tetapi justru guru harus  berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan paham betul atas keunikan peserta didik (Herpratiwi, 2009: 61).

Siswa berperan  sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih menitik beratkan pada proses belajar daripada hasil belajar. Adapun proses yang umunya dilalui sebagai berikut.
1.    Merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas.
2.    Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
3.    Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4.    Mendorong siswa untuk peka berfikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5.    Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat memilih pilihanya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung risiko dari perilaku yang ditunjukan. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala risiko perbuatannya atau proses belajarnya.
6.    Memberikan kesempatan kepada murid untuk maju sesuai dengan kecepatanya. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).


Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).

Psikologi humanistik berharap bahwa guru sebagai fasilitator. Berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, sebagai berikut.
a.    Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
b.    Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.    Fasilitator mempercayai adanya keinginan dan masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna.
d.   Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber untuk belajar yang paling luas dan paling mudah dimanfaatkan siswanya untuk mencapai tujuan mereka.
e.    Fasilitator menempatkan dirinya disuatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.     Di dalam menghadapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, guru menerima baik yang bersifat intelektual, sikap, perasaan dan menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun bagi kelompok.
g.    Bilamana kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
h.    Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaanya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.      Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
j.      Di dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri (Herpratiwi, 2009: 62).

Ciri-ciri guru yang baik menurut humanistik ialah guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru yang memiliki rasa humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada (Herpratiwi, 2009: 62).

2.6  Model Pembelajaran Humanisme
Model pembelajaran humanistik yang dapat dijelaskan dalam makalah ini, sebagai berikut.
1.    Humaning Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini tertumpu pada tiga ha, yaitu: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
2.    Active Learning dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam Active Learning cara belajar dengan mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan cara mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus ialah dengan membelajarkan.
3.    Quantum Learning merupakan cara pengubahan macam-macam interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan sugetologi teknik pemercepatan belajar dan neurolenguistik dengan teori keyakinan dan  metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini ialah belajar itu harus mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
4.    The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar darai pembelajaran ini berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan somantic, auditory, visual  dan intellectual (SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning bay talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Naun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan  pengalaman belajar efektif (Herpratiwi, 2009: 58-60).

3 komentar:

  1. terimakasih sudah mengupload..sangat membantu =)

    BalasHapus
  2. terimakasih artikelnya, dapat membantu daya dalam membuat makalah. Izin copas ya, makasih :D

    http://blog.binadarma.ac.id/akhmadkhudri/

    BalasHapus
  3. TERIMA KASIH KAK ILMUNYA

    http://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Firman_effendy.wordpress.com

    BalasHapus