Wardani, S.Pd
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan konsep teori
belajar humanisme, tokoh-tokoh teori belajar humanisme, kelebihan dan
kekurangan teori belajar humanisme, pendekatan belajar humanisme, aplikasi
teori belajar humanisme, dan model pembelajaran humanisme. Pembahasan secara rinci
dapat dikemukakan sebagai berikut.
2.1 Konsep Teori Belajar Humanisme
Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki
tujuan belajar untuk memanusikan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat
dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 56).
Senada dengan pendapat di atas, belajar adalah
pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik, tujuannya adalah memanusiakan
manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam
pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan
pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi
secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing
didepan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila
kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan. Pembelajaran berdasarkan teori
humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap
dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini
adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi
pola perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri (Herpratiwi,
2009: 39).
Awal timbulnya psikologi humanistis terjadi pada
akhir tahun 1940-an yaitu munculnya suatu perspektif psikologi baru.
Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam
pengembangan ini. Misalnya; ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial,
konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan
ini berkembang dan kemudian dikenalkan dengan psikologi humanistis, eksternal,
perseptual atau fenomenologikal.
Psikologi ini berusaha memahami perilaku seseorang dari sudut perilaku (behavior),
bukan dari pengamat observer. Dalam dunia pendidikan aliran humanisme muncul
pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan
inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun
juga akan menuju pada arah ini (Herpratiwi, 2009: 37).
Perhatian psikologi humanistik terutama tertuju pada
masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh
maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka
sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian
materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Gerakan
munculnya psikologi humanistik disebabkan oleh semacam kesadaran bersama
beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori psikologi yang berkemampuan
menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan yang sewajarnya mengfungsikan
manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada dasarnya mempunyai kapasitas
serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya (Herpratiwi,
2009: 37).
Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya
melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat
bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih
baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme berfokus
pada sikap dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri,
bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan bertanggung jawab,
kecemasan sebagai suatu unsur dasar pencarian. Maka yang unik didalam dunia
yang tidak bermakna, berada sendirian dan berada dalam hubungan dengan orang
lain keterhinggaan, kematian, dan kecenderungan mengaktualisasikan diri.
Perkembangan pribadi yang muncul berdasarkan keunikan masing-masing individu.
Teori ini berfokus pada saat sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan.
Pendekatan ini menyajikan kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan
perkembangan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa
menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri
dan bertanggung jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38).
Senada dengan pendapat di atas, konsep pendekatan
humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan
yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang
mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan
interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk
memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan
atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam
pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik (Sukardjo dan
Komarudin, 2009: 57).
Keleluasaan untuk memilih apa yang akan dipelajari
dan kapan serta bagaimana mereka akan mempelajarinya merupakan ciri utama
pendekatan humanisme. Bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated leaner. Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan
bersedia melakukan banyak hal apabila mereka
memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk
menentukan apa yang mereka inginkan dan mereka hindari pemberian nilai dan tes
standar atau evaluasi formal lainnya. Pengertian humanisme yang beragam membuat
batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam
arti pula. Kata humanisme dalam pendidikan, dalam artikel “what is humanistic education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa
sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam pendidikan.
Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanisme
(Herpratiwi, 2009: 38).
Beberapa ciri
khas yang dominan dalam psikologi humanisme sebagai berikut.
a.
Mereka menekankan bahwa psikologi seharusnya
memperlakukan “keseluruhan kepribadian manusia” meliputi seluruh
aspek-aspeknya.
b.
Mereka menekankan kepada aktivitas dari sudut pandang
personnya dari sudut pandang “peninjau” (observer). Pengikut psikologi
humanisme menyatakan bahwa dalam melihat manusia sebagian besar ahli-ahli
psikologi mengambil sudut pandang orang ketiga, sedangkan cara yang paling
nyata untuk mempelajari psikologi ialah melalui “mata person” yaitu dirinya
sendiri.
c.
Mereka juga menekankan kepada “self-actualization”, “self-fulfillment”
atau “self-realization”.
d.
Mengenai perkembangan pribadi seseorang dalam arah
apapun, orang tersebut selalu memilih atau menilai (Herpratiwi, 2009: 40).
Nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan dalam
pendidikan humanisme sebagai berikut.
1.
Kejujuran (tidak menyontek, tidak merusak, dan bisa
dipercaya).
2.
Menghargai hak orang lain (menerima dan menghormati
perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang lain, menolong orang lain,
dan bisa berempati terhadap problem orang lain).
3.
Menjaga lingkungan (menghemat penggunaan listrik, gas,
kayu, logam, kertas, dll. Menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang
lain).
4.
Perilaku (mau berbagi, menolong orang lain, ramah
terhadap orang lain, dan berlaku pantas didepan publik).
5.
Perkembangan pribadi (menjalankan tanggung jawab,
menghargai kesehatan dan kebersihan fisik, mengembangkan bakat yang dimiliki
secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan rasa bangga terhadap diri
sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani, terhormat dan patriotik,
serta menghargai keindahan) (Herpratiwi, 2009: 41).
Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia daripada berfokus kepada “ketidak normalan” atau “sakit”
seperti dilihat oleh teori psikoanalisa freud. Pendekatan ini melihat kejadian
setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya
untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini disebut
sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya
memfokuskan pembelajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini (Herpratiwi,
2009: 42).
Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam dominan efektif, misalnya
keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain,
bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan
orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya.
Intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para
pendidiknya yang beraliran humanisme juga mencoba untuk membuat pembelajaran
yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat,
berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi.
Pendidik humanisme mencoba untuk melihat dalam spektrum yang lebih luas
mengenai perilaku manusia. (Herpratiwi, 2009: 42).
Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik
humanisme, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam
dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu dalam
perkembangan, sementara humanisme melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi
bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang nampak
dari para pendidik beraliran humanisme.
Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi
sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar
menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini
sama seperti yang ingin kita dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan
kognitif (Herpratiwi, 2009: 42-43).
2.2 Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanisme
Tokoh penting
dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain: Arthur W. Comb,
Abraham Maslow, dan Carl Ranson Rogerss. Teori belajar humanistik berdasarkan
pendapat tokoh-tokohnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.
Athur W. Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka
mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan
dalam teori belajar humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai
arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah
bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa
sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk
itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya Konsep pendekatan
humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif (Herpratiwi,
2009: 45).
Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan
mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut. Sehingga, apabila ingin
mengubah perilaku siswa tersebut guru harus mengubah keyakinan atau pandangan
siswa yang ada. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang diharapkan siswa tidaklah
menyatu pada materi pelajaran tersebut. Dalam hal ini yang penting ialah
bagaimana membawa persepsi siswa untuk memperoleh makna belajar bagi pribadinya
dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan
kehidupannya sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
Arthur W. Comb ialah seorang humanis, ia berpendapat
bahwa perilaku batiniah seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud
menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain,
kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berfikir tentang
dirinya. Pendidikan dapat memahami perilaku peserta didiknya jika ia mengetahui
bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa
yang kelihatanya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam
pembelajaran menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik
memperoleh informasi baru informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya.
Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah
belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik. Karena peserta
didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah
dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana
membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan
ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan
kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil
(Herpratiwi, 2009: 45).
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia
seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang tertitik pusat satu.
Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkaran besar adalah
persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri, makin
berkurang pengaruhnya terhadap perilaku. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit
hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan oleh siswa (Sukardjo
dan Komarudin, 2009: 58).
Combs dan
kawan-kawan menyatakan bahwa apabila kita ingin memahami perilaku orang lain
kita harus memahami dunia persepsi orang itu. Apabila kita ingin mengubah
keyakinan atau pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang
dari yang lain. Selanjutnya bahwa perilaku buruk itu sungguh tak lain hanyalah
dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya. Apabila seseorang guru mengeluh apabila siswanya
tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru
itu. Apabila guru itu memberikan aktivitas yang lain, mungkin sesekali siswa
akan memberikan reaksi yang positif. Para ahli humanisme melihat adanya bagian
dari learning, ialah pemerolehan
informasi baru dan personalisasi informasi ini pada individu. Padahal arti
tidaklah menyatu pada materi pelajarn itu, sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi
pelajaran tersebut dan menghubungkan dengan kehidupannya (Herpratiwi, 2009:
46).
2.
Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam
diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang dan
(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan
bahwa individu berperilaku dala upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat pelbagai perasaan takut seperti rasa
takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut
dengan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi disisi lain, seseorang
juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan, keunikan diri, ke arah
berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar,
dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 58).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hierarki.
Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan
fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya,
ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan
manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting dan harus
diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan
motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum
terpenuhi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).
Adapun hierarki
kebutuhan menurut Maslow sebagai berikut.
a.
Kebutuhan fisiologis/ dasar.
b.
Kebutuhan akan rasa
aman dan tentram.
c.
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi.
d.
Kebutuhan untuk dihargai.
e.
Kebutuhan untuk aktualisasi diri (Herpratiwi, 2009:
49).
Dalam artikel “some
educational implications of the Humanistic Psychologist”, Maslow mencoba
untuk mengkritik Freud dan Behavioristik. Menurut Maslow, yang terpenting dalam
melihat manusia adalah potensi yang dimiliknya. Humanistik lebih melihat pada
sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan”
atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisis Freud. Pendekatan
ini melihat kejadian setelah sakit tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia
membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak
positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Para pendidika yang beraliran
humanistik biasanya memfokuskan pengajaranya pada pembangunan kemampuan positif
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).
Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga
hubungan yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan,
penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal,
dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya ialah meningkatkan kualitas
keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 59).
Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik
humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam
dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu
perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi,
dapat dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang tampak
dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling
beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu
potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan
mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita
peroleh dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 60).
Berbeda dengan
behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis manusia atau dengan Freudian yang melihat motivasi sebagai
berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai
campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini
memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang
dilihat adalah perilaku manusia, spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan
antara motivasi yang dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan motivasi Maslow
menggambarkan motivasi manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri
sekaligus juga menggambarkan motivasi dalam tingkat yang lebih rendah, seperti
kebutuhan fisiologis dan keamanan (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).
3.
Carl Ransom Rogerss (1902-1987)
Carl Ramson Rogerss lahir di Oak Park, Llinois pada
tanggal 8 Januari 1902 di sebuah keluarga protestan yang fundamentalis.
Kepindahan dari kota ke daerah pertanian di usianya ke-12, membuat ia senang
akan ilmu pertanian. Ia pun belajar pertanian di Universitas Wisconsin. Setelah
lulus tahun 1924, ia masuk ke Union Theologi Seminary di Big Apple dan selama
masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di sebuah gereja kecil. Meskipun
belajar seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher Collage yang bertetangga
dengan seminarinya (Herpratiwi, 2009: 48).
Tahun 1927, Rogerss bekerja di Institute For Child Guindance dan menggunakan psikonalisa Freud
dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori Freud. Pada masa
ini, Rogerss juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan Jhon Dewey yang
memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkan justru membuatnya
menemukan benang merah yang kemudian dikembangkan dan dipakai untuk
mengembangkan teorinya kelak (Herpratiwi, 2009: 49).
Pada tahun 1931, Rogerss bekerja di Child Study Departement of The Society For
The Prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada
perhimpunan pencegahan kekerasan terhadap anak) di Rochester, NY. Pada
masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/ nakal dengan
menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu
tulisan berjudul The Clincai Treatment Of
The Problem Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor
pada fakultas psikologi di Ohio State
University dan pada tahun 1942. Rogerss menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society
(Herpratiwi, 2009: 49).
Tahun 1957, Rogerss pindah ke Universitas Wisconsin
untuk mengembangkan idenya tentang psikitari. Setelah mendapat gelar doktor,
Rogerss menjadi profesor psikologi di Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari
lingkungan klinis ke lingkungan akademik membuat Rogerss mengembangkan metode client-contered psycotherapy. Disini dia
lebih senang menggunakan istilah siswa terhadap orang yang berkonsultasi
dibandingkan memakai istilah pasien (Herpratiwi, 2009: 49).
Rogerss ialah seorang psikolog humanistik yang
menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien
dan terapisit) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.
Rogerss meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang
dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang
benar. Menurut Rogerss, teknik-teknik assesment
dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien (Herpratiwi, 2009:
49).
Kecewa karena tidak bisa menyatukan psikiatri dengan
psikolog. Rogerss pindah ke California pada tahun 1964 dan bergabung dengan western behavioral science institute. Ia
lalu mengembangkan teorinya dibidang pendidikan. Selain itu ia banyak memberikan
workshop di Hongaria, Brazil, Afrika Selatan, dan bahkan Uni Soviet. Rogerss
wafat pada tanggal 4 Februari 1987. Meskipun teori yang dikemukakan oleh
Rogerss ialah salah satu teori humanistik, namun keunikan teori pada sifat
humanis yang terkandung di dalamnya (Herpratiwi, 2009: 50).
Rogerss
membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental (pengalaman atau
signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan
terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiental learning menunjuk pada
pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup; keterlibatan siswa secara personal,
berinisiatif, evaluasi oleh siswa
sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogerss, yang
terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan
prinsip pendidikan dan pembelajaran, sebagai berikut.
a.
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar
untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada
artinya.
b.
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi
dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan
ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
c.
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern belajar
tentang proses (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61).
Asumsi teori
Rogerss sebagai berikut.
1.
Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik
maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
2.
Kecenderungan aktualisasi
Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk
bergerak menuju kesempurnaan atau pemenuhan potensi dirinya. Tiap individual
mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya (Herpratiwi,
2009: 50).
Menurut teori di atas, tujuan belajar ialah untuk
memanusiakan manusia. Prose belajar dianggap berhasil jika si pelajar telah
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan sudut pandang pengamatnya (Herpratiwi, 2009: 50).
Dari bukunya freedom to learn, ia menunjukan sejumlah
prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya sebagai berikut.
1.
Mannusia mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi
pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
3.
Belajar yang menyangkur perubahan di dalam persepsi
mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan
dan diasimilasikan apabika ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5.
Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman
dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses
belajar.
6.
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan
melakukannya.
7.
Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam
prose belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
8.
Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi
siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat
memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan,
kreativitas lebih mudah divapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri
dan mengkritik dirinya sendiri. Penilaian dari orang lain merupakan cara kedua
yang penting.
10.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam
dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang
terus-menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri
mengenai proses perubahan itu (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61-62).
Siswa berperan
sebagai pelaku utama (student center)
yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami
potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada pproses
belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui sebagai
berikut.
a.
Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
b.
Mengusahakan partisipasi siswa melalui kontrak belajar
yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
c.
Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa
untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d.
Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai
proses pembelajaran secara mandiri.
e.
Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat,
memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko
dari pelaku yang ditunjukan.
f.
Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan
pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk
bertanggung jawab atas segala resiko
perbuatan atau proses belajarnya.
g.
Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan
kecepatannya.
h.
Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan
perolehan prestasi belajar siswa (Herpratiwi, 2009: 52).
Salah satu model
pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang
dikembangkan Rogerss, diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975. Model ini
mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu
empati, penghargaan, dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif
sebagai berikut.
1.
Merespons perasaan siswa.
2.
Menggunakan ide-ide
siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.
3.
Berdialog dan berdiskusi dengan siswa.
4.
Menghargai siswa.
5.
Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
6.
Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan
untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa).
7.
Tersenyum pada siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009:
62-63).
Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa guru
yang fasilitatif mampu mengurangi angka membolos, meningkatkan angka konsep
diri, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran
bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat masalah yang
berkaitan dengan disiplin, mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta
menjadikan siswa lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).
Teori Rogerss
dalam bidang-bidang pendidikan dibutuhkan 3 (tiga) sikap oleh fasilitator
belajar, yaitu: (1) realitas di dalam fasilitator belajar, (2) penghargaan,
penerimaan dan kepercayaan, dan (3) pengertian empati. Dari ketiga sikap
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.
Realitas di dalam fasilitator belajar
Merupakan sikap dasar yang penting.
Seorang fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri.
Sehingga ia dapat masuk ke dalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang
ditutup-tutupi.
2.
Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan
Menghargai pendapat, perasaan, dan
sebagainya membuat timbulnya penerimaan akan satu dengan lainnya. Dengan adanya
penerimaan tersebutm maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan yang
lainnya.
3.
Pengertian yang empati
Untuk mempertahankan iklim belajar atas
dasar inisiatif diri, maka guru harus memiliki pengertian yang empati akan
reaksi murid dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang senditif bagi
jalanya proses pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi. Pengertian
akan materi pendidikan dipandang dari sudut murid bukan guru (Herpratiwi, 2009:
53).
Kesimpulan Teori
Humanisme Carl Rogerss ialah sebagai berikut.
1.
Teori Rogerss disebut humanis karena teori ini
dipercaya bahwa setiap individu adalah positif, serta menolak teori Freud dan
behaviorisme.
2.
Asumsi dasar teori Rogerss ialah kecenderungan formatif
dan kecenderungan aktualisasi.
3.
Diri (self)
terbentuk dari pengalaman mulai dari bayi, dimana penghargaan positif (positive regard) dan penghargaan diri
yang positif (positive self regard).
4.
Stagnasi psikis terjadi bila pengalaman dan konsep diri
yang tidak konsisten, untuk menghindarinya adalah pertahanan distorasi dan
penyangkalan. Jika gagal dalam menerapkan pertahanan tersebut konsep diri akan
hancur dan menyebabkan psikotik.
5.
Dalam terapi, terapi hanya menolong dan mengarahkan
siswa yang melakukan perubahan adalah siswa itu sendiri (Herpratiwi, 2009: 52).
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar
Humanisme
Di bawah ini
akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan teori belajar humanistik, sebagai
berikut.
a.
Kelebihan teori belajar humanisme
Pembelajaran dengan teori ini sangat
cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau
melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Herpratiwi, 2009:
56).
b.
Kelemahan teori belajar humanisme
Karena dalam teori ini guru ialah
sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang
aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang kurnag aktif, dia akan takut atau malu
untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya
yang aktif dalam kegiatan pembelajaran, padahal dlaam teori ini guru akan
memberikan respons bila murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons
yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses
belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses
pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang (Hepratiwi,
2009: 56).
2.4 Pendekatan Pembelajaran Humanisme
Pendekatan pembelajaran humanisme memandang manusia
sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggung
jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam
pembelajaran yang humanisme ialah pendekatan reflektif, dialogis, dan
ekspresif. Pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berfikir bersama
secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan
fasilitator dan partner dialog, pendekatan dialogis menagajak peserta didik
untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Sedangkan pendekatan ekspresif mengajak
peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi
dan aktualisasi diri). Dengan demikian, pendidik tidak mengambil alih tanggung
jawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses
perkembangan diri. Penentuan sikap dan pemilihan nilai-nilai yang akan
diperjuangkannya (Herpratiwi, 2009: 57).
Pendidikan yang humanistik menekan bahwa pendidikan
pertama-tama dan yang utama ialah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal
antar pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunikasi
sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah
pendidikan jika dilandasi oleh cinta kasih atas mereka. Pribadi-pribadi hanya
berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana
yang penuh cinta, hati yang penuh pengertian serta relasi pribadi yang efektif.
Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya
dan kemudian mengungkapkannya secara jujur. Mendidik tidak sekedar mentransfer
ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada peserta didik, namun
merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan dirnya secara
optimal (Herpratiwi, 2009: 57).
Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan
kemampuan seseorang menghadirkan diri sedemikian rupa sehingga pendidik
memiliki relasi bermakna pendidikan dengan siswa dan mereka mampu
menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang
efektif ialah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar
pendidikanya ialah peserta didik menemukan, mengembangkan, dan mencoba
mempraktikan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Ciri utama pendidikan yang
berpusat pada siswa ialah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima
sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam
model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan
komunikasi yang efektif. Peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya,
mengembangkan dirinya dan kemudian memfungsikan dirinya di dalam masyarakat
secara optimal (Herpratiwi, 2009: 58).
Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya ialah
pertumbuhan dan perkembangan diri siswa secara utuh sehingga meraka menjadi
pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan
konflik alam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka
diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan humanistik serta mengembangkan
cara aktif-positif dan keterampilan memadai. Pendidikan dan pembelajaran yang
bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat
penting untuk memperoleh kemajuan dibidang intelektual, emosi/ perasaan, afeksi
maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada
hakikatnya ialah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya membantu
peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi lebih
bermanusiawi, berguna dan berpengaruh di dalam masyarakat, bertanggung jawab
dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi
yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus
memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas,
berkeahlian, namun humanis (Herpratiwi, 2009: 58).
2.5 Aplikasi Teori Belajar Humanisme
Pengertian humanistik yang beragam membuat
batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam
arti pula. Perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata
humanistik dalam pendidikan. Dalam artikel “What
is The Humanistic Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah,
kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria.
Hal ini menunjukan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam beberapa
kriteria. Hal ini menunjukan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik
dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam
psikologi humanistik (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh
atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang
diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik ialah menjadi fasilitator
bagi para siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai
makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman
belajar siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 64).
Pandangan kalangan humanis tentang proses belajar
mengaplikasikan perlunya penataan peran guru/ tenaga kependidikan dan prioritas
pendidikan. Menurut pandangan ini guru/ tenaga kependidikan berperan sebagai
fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai
proses pembelajaran tetapi yang terpenting ialah memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar
secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan
kesadaran sidentitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).
Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa
ia harus berfikir pasif akan tetapi justru guru harus berperan aktif dalam suatu proses
pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian
belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta
didik mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan
paham betul atas keunikan peserta didik (Herpratiwi, 2009: 61).
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai proses pengalaman belajarnya
sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan meminimalkan potensi diri
yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih menitik beratkan pada proses
belajar daripada hasil belajar. Adapun proses yang umunya dilalui sebagai
berikut.
1.
Merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas.
2.
Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak
belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
3.
Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa
untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4.
Mendorong siswa untuk peka berfikir kritis, memaknai
proses pembelajaran secara mandiri.
5.
Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat
memilih pilihanya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung risiko
dari perilaku yang ditunjukan. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha
memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong
siswa untuk bertanggung jawab atas segala risiko perbuatannya atau proses
belajarnya.
6.
Memberikan kesempatan kepada murid untuk maju sesuai
dengan kecepatanya. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan
prestasi belajar siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok
untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang,
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Sukardjo dan
Komarudin, 2009: 65).
Psikologi
humanistik berharap bahwa guru sebagai fasilitator. Berbagai cara untuk memberi
kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, sebagai berikut.
a.
Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada
penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
b.
Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas
tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang
bersifat umum.
c.
Fasilitator mempercayai adanya keinginan dan
masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi
dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna.
d.
Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber
untuk belajar yang paling luas dan paling mudah dimanfaatkan siswanya untuk
mencapai tujuan mereka.
e.
Fasilitator menempatkan dirinya disuatu sumber yang
fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.
Di dalam menghadapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok
kelas, guru menerima baik yang bersifat intelektual, sikap, perasaan dan
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun bagi kelompok.
g.
Bilamana kelas telah mantap, fasilitator
berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut
berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya
sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
h.
Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam
kelompok, perasaanya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak
memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan
atau ditolak oleh siswa.
i.
Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang
menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
j.
Di dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus
mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri
(Herpratiwi, 2009: 62).
Ciri-ciri guru yang baik menurut humanistik ialah
guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu
berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan
mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru
yang memiliki rasa humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan
siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang
peka terhadap perubahan yang ada (Herpratiwi, 2009: 62).
2.6 Model Pembelajaran Humanisme
Model
pembelajaran humanistik yang dapat dijelaskan dalam makalah ini, sebagai
berikut.
1.
Humaning Of The
Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak
manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus asa yang akhirnya
mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan
oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada pengembangan model pendidikan afektif.
Pendidikan model ini tertumpu pada tiga ha, yaitu: menyadari diri sebagai suatu
proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan
identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang
dilakukan terbatas pada subtansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada
aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
2.
Active Learning
dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model
pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari
penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan
tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan
sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan,
memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam Active Learning cara belajar dengan
mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan cara mendengarkan, melihat dan
mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat,
berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan
cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus ialah dengan membelajarkan.
3.
Quantum Learning
merupakan cara pengubahan macam-macam interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di
dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan sugetologi teknik pemercepatan
belajar dan neurolenguistik dengan teori keyakinan dan metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan
potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi
yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa
meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Salah satu konsep dasar dari
metode ini ialah belajar itu harus mengasikkan dan berlangsung dalam suasana
gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam
dengan baik.
4.
The Accelerated
Learning, merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar darai
pembelajaran ini berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik
konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas
menggunakan pendekatan somantic,
auditory, visual dan intellectual (SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar
dengan bergerak dan berbuat). Auditory
adalah learning bay talking and hearing
(belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by
observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter
menganggap accelerated learning dapat
memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan
upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur
yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan,
warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Naun
semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan
pengalaman belajar efektif (Herpratiwi, 2009: 58-60).
terimakasih sudah mengupload..sangat membantu =)
BalasHapusterimakasih artikelnya, dapat membantu daya dalam membuat makalah. Izin copas ya, makasih :D
BalasHapushttp://blog.binadarma.ac.id/akhmadkhudri/
TERIMA KASIH KAK ILMUNYA
BalasHapushttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Firman_effendy.wordpress.com